:: KEARIFAN LOKAL PENGUAT IDENTITAS BANGSA (TULISAN)
Posted on 11.31 | By yusup.1a113034 | In Info-4KA40
Kearifan
lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai
kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local
knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk
pada bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Konsepsi yang disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling
sering dijumpai dan dikupas saat ini. Local genius ini dikenalkan oleh
Quaritch Wales, menyusul para antropolog lain yang mengurainya lebih
panjang lagi, Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah
cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan
bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai
watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Lebih tegas lagi,
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur
budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji
kemampuannya dan bertahan sampai sekarang.
Di Indonesia sendiri, kesadaran akan kaya dan berartinya kearifan lokal cenderung terlambat. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down. (Ridwan, 2007). Beruntunglah, semangat otonomi daerah berhasil membuka kembali kran aliran nilai kearifan lokal tersebut. Masyarakat Indonesia mulai membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Lebih dari itu, kearifan lokal juga dapat dijadikan rujukan penyelesaian masalah bangsa. Jero Wacik, mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Lalu masihkan relevan mengusung tema kearifan lokal di era globalisasi seperti saat ini? Globalisasi yang dimaksud adalah globalisasi yang erat gelontoran arus informasi. Arus informasi ini hadir untuk meluaskan paham internasionalisme, dan menghapuskan batas-batas nation-state. Penghapusan batas-batas tersebut melintasi bahkan menghapuskan batas-batas kebudayaan, perilaku, dan nilai-nilai kearifan lokal. Maka wajar jika produk-produk kearifan lokal Indonesia bisa dibajak orang lain. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.
Di Indonesia sendiri, kesadaran akan kaya dan berartinya kearifan lokal cenderung terlambat. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down. (Ridwan, 2007). Beruntunglah, semangat otonomi daerah berhasil membuka kembali kran aliran nilai kearifan lokal tersebut. Masyarakat Indonesia mulai membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Lebih dari itu, kearifan lokal juga dapat dijadikan rujukan penyelesaian masalah bangsa. Jero Wacik, mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Lalu masihkan relevan mengusung tema kearifan lokal di era globalisasi seperti saat ini? Globalisasi yang dimaksud adalah globalisasi yang erat gelontoran arus informasi. Arus informasi ini hadir untuk meluaskan paham internasionalisme, dan menghapuskan batas-batas nation-state. Penghapusan batas-batas tersebut melintasi bahkan menghapuskan batas-batas kebudayaan, perilaku, dan nilai-nilai kearifan lokal. Maka wajar jika produk-produk kearifan lokal Indonesia bisa dibajak orang lain. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.
1. Kearifan Lokal sebagai Identitas dan Ideologi
Bangsa
Boni Hargens (2011) dalam
tulisannya di Kompas
menyatakan bahwa arus modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi
semestinya tidak meniadakan suatu negara jatuh dalam percaturan global
asal saja negara tersebut ditopang oleh identitas nasional yang kuat,
tetapi juga didukung oleh ideologi dan kepemimpinan politik yang kuat.
Selain etika moral yang bersumber
pada agama,
di Indonesia juga terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat
kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta
keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial. Kita mengenal pepatah
”gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit
dahulu bersenang-senang kemudian” yang mengimplikasikan ajakan untuk
membangun etos kerja dan semangat untuk meraih keunggulan. Dalam hal
keharmonisan sosial dan alam, hampir semua budaya di Indonesia mengenal
prinsip gotong royong dan toleransi. Dalam suku tertentu yang bermukim
di pedalaman juga dikenal kearifan lokal yang bersifat menjaga dan
melestarikan alam sehingga alam (misalnya kayu di hutan) hanya
dimanfaatkan seperlunya, tidak dikuras habis.
Dengan sumber daya alam yang
melimpah dan
sumber daya manusia yang banyak, semestinya Indonesia telah menjadi
negara besar yang maju. Namun, di tingkat Asia Tenggara saja posisi kita
di bawah Singapura yang miskin sumber daya alam dengan luas wilayah
lebih kurang hanya seluas Jakarta. Sumber daya alam yang melimpah di
negeri ini kadang-kadang juga tidak menjadi berkah. Gas alam diekspor ke
luar negeri dengan harga jual yang lebih rendah daripada harga jual
untuk pasar dalam negeri. Hutan dieksploitasi secara luar biasa untuk
mengejar perolehan devisa yang pada akhirnya hanya mendatangkan
kerusakan ekosistem alam yang disusul dengan bencana (banjir;longsor).
Kebijakan ekonomi pemerintah acap
kali hanya
berpihak pada kepentingan pemodal kuat. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945—yang oleh para pendiri republik ini diciptakan untuk
mengakomodasi kearifan lokal yang ada di negeri ini (seperti gotong
royong dan kekeluargaan)—dengan tegas mengamanatkan bahwa perekonomian
nasional disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan sumber daya alam yang
ada dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Secara faktual, dapat kita
saksikan pertumbuhan mini market yang sangat subur yang mematikan warung rumah tangga.
Sementara itu, dalam masyarakat
sendiri
sering terjadi tindak kekerasan yang mereduksi nilai toleransi. Dalam
konteks perubahan nilai sosiokultural juga terjadi pergeseran orientasi
nilai. Masyarakat cenderung makin pragmatis dan makin berorientasi pada
budaya uang serta terperangkap dalam gaya hidup konsumtif yang
disodorkan kekuatan global kapitalisme.
Dalam realitas Indonesia kini,
secara ekstrem
dapat dikatakan bahwa kearifan lokal yang kita miliki mirip benda
pusaka, yang kita warisi dari leluhur, kita simpan dan kita pelihara,
tetapi kita tidak mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata
sehingga pusaka tersebut sia-sia merespons tantangan zaman yang telah
berubah.
Dalam kaitannya dengan kearifan
lokal dan realitas Indonesia kini, Kompas
edisi 20 April 2011 menampilkan dua tulisan yang relevan, yakni “Saya
Mohon Ampun” oleh Radhar Panca Dahana dan “Pembangunan Gerus Kearifan
Lokal” oleh Wasisto Raharjo Jati. Dalam tulisannya, Radhar Panca Dahana
mencemaskan perilaku para elit negeri ini yang antara sadar dan tidak
sadar telah menjadi agen kepentingan dan keserakahan ekonomi dan politik
negara maju (sehingga Indonesia hanya dijadikan sekadar pasar sambil
dikuras habis sumber daya alamnya). Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati
mengemukakan bahwa pembangunan di Indonesia yang terpaku pada
pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan
menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian hari.
Karena berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, secara tidak langsung
pemerintah juga telah menjejalkan “budaya uang” sehingga cenderung
mengurangi dan meniadakan kearifan dan budaya lokal.
Kearifan lokal dapat dipandang
sebagai
identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang memungkinkan
kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya
melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal adalah
filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang
kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata
lingkungan, dan sebagainya). Sekadar contoh, kearifan lokal yang
bertumpu pada keselarasan alam telah menghasilkan pendopo dalam
arsitektur Jawa. Pendopo dengan konsep ruang terbuka menjamin ventilasi
dan sirkulasi udara yang lancar tanpa perlu penyejuk udara.
Pendopo adalah salah satu contoh
bagaimana
kearifan lokal warisan masa lampau telah memberikan kepada kita konsep
arsitektur yang lega, nyaman, dan hemat energi. Sekarang ini, kita
mempersoalkan krisis energi dan menyerukan hemat energi. Namun, gedung
dan rumah dibangun dengan konsep bangunan tertutup sehingga memerlukan
penyejuk udara yang boros energi.
Kearifan lokal dalam wujud gotong
royong juga
kita kenal di warung rakyat (misalnya warteg). Di warung tersebut
dipraktikkan penggiliran pengelolaan warung sebagai implementasi nilai
gotong royong dalam tata sosial dan ekonomi: memberi peluang kerja dan
peluang mencari nafkah bagi kerabat dan warga sekampung; itu adalah
salah satu kearifan lokal warisan masa lampau yang masih diberlakukan
oleh sebagian masyarakat.
Di negeri ini, ada sesuatu yang
aneh dan
janggal: kearifan lokal di tingkat akar rumput acap kali berhadapan
dengan kebijakan pemerintah yang pro pertumbuhan ekonomi (sehingga
mengundang investor asing dan memberikan banyak kemudahan, termasuk
dalam hal regulasi, sambil mengabaikan kearifan lokal yang tumbuh di
akar rumput (Radhar Panca Dahana dan Wasisto Raharjo Jati, 2011).
Pancasila sebagai ideologi negara
pada
dasarnya telah mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di Nusantara
(antara lain nilai gotong royong sehingga salah satu sila Pancasila
adalah “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”). UUD 1945 (yang
dijiwai oleh Pancasila) juga mengamanatkan hal yang sama, terutama
dalam Pasal 33. Akan tetapi, saat ini Pancasila dapat dikatakan menjadi
sekadar aksesori politik belaka.
Memaknai kearifan lokal tampaknya
tidak dapat
dipisahkan dari konstelasi global. Indonesia dengan kekayaan alam yang
melimpah dan posisinya yang strategis menjadikan Indonesia senantiasa
menjadi incaran negara maju sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Hingga
kini pun setelah pemerintahan berganti beberapa kali, pemerintah tidak
dapat menunjukkan independensinya: banyak kebijakan pemerintah yang
lebih berpihak pada kepentingan kekuasaan ekonomi dan politik global
daripada berpihak pada kepentingan rakyat dalam negeri. Tentang hal itu
dapat dibaca tulisan Radhar Panca Dahana (2011) yang secara satiris
mengatakan bagaimana kekuasaan pemerintahan telah menjadi kepanjangan
tangan kepentingan ekonomi global.
Kearifan lokal (yang sesungguhnya
dapat
dipandang sebagai identitas bangsa) tidak akan bermakna apa pun tanpa
dukungan ideologi yang berpihak kepadanya. Dalam konstelasi global,
ketika perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet (dan
negara yang masih menganut Marxisme pun telah menerapkan sistem ekonomi
kapitalistik seperti Cina dan Vietnam), tanpa ideologi yang berpihak
pada kepentingan nasional, kita akan semakin kehilangan identitas dalam
percaturan global dan hanyut dalam arus globalisasi yang “didikte” oleh
negara maju.
2. Kearifan Lokal: antara Pusaka dan Senjata
Kearifan lokal adalah warisan masa
lalu yang
berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional
(sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat
penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata,
seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam
dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian
dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi,
nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian
generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan kearifan
lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh
sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada
tekanan dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah
hutan di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya
bertujuan melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga
masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi
lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23 April 2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora
mangan waton kumpul
(‘biar tidak makan yang penting berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang
pun makin kehilangan maknanya: banyak perempuan di pedesaan yang
berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja di mancanegara dengan
risiko terpisah dari keluarga daripada hidup menanggung kemiskinan dan
kelaparan.
Kearifan lokal hanya akan abadi
kalau
kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari
sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah.
Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara,
misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong
royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita.
Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila)
dalam berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan
efektif berfungsi sebagai senjata—tidak sekadar pusaka—yang membekali
masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus zaman.
Revitalisasi kearifan lokal dalam
merespons
berbagai persoalan akut bangsa dan negara ini, seperti korupsi,
kemiskinan, dan kesenjangan sosial hanya akan berjalan dengan dukungan
kebijakan negara dan keteladanan. Tanpa itu, kearifan lokal hanya
merupakan aksesori budaya yang tidak bermakna. Kearifan lokal di banyak
daerah pada umumnya mengajarkan budaya malu (jika berbuat salah). Akan
tetapi, dalam realitas sekarang, budaya malu itu telah luntur. Peraturan
yang ada pun kadang-kadang memberi peluang kepada seorang terpidana
atau bekas terpidana untuk menduduki jabatan publik. Jadi, budaya malu
sebagai bagian dari kearifan lokal semestinya dapat direvitalisasi untuk
memerangi korupsi, apalagi dalam agama pun dikenal konsep halal—haram
(uang yang diperoleh dari korupsi adalah haram).
Di antara berbagai penggerusan
kearifan lokal
saat ini, di sisi lain kita masih menyaksikan pemanfaatan kearifan
lokal, misalnya di dunia medis terjadi pengembangan obat herbal yang
merupakan warisan leluhur di bidang medis yang kemudian disempurnakan
dengan standar farmakologi yang berlaku. Jadi, itu adalah salah satu
wujud kearifan lokal yang telah memperoleh revitalisasi dalam
masyarakat.
Di tengah derasnya arus investasi
asing di
bidang kuliner yang merambah ke negeri ini (seperti Kentucky Fried
Chicken, Mc Donald, dan Pizza Hut), kita masih dapat menyaksikan menu
kuliner lokal (masakan Sunda, Padang, dan Yogya) tetap eksis dan
sebagian hadir dalam tata kelola restoran modern. Itu adalah
revitalisasi kearifan lokal di bidang kuliner.
Sementara itu, gotong royong
sebagai wujud
kearifan lokal kita tampaknya belum terimplementasikan dalam
perekonomian nasional yang makin didominasi oleh asing dan perusahaan
multinasional dengan semangat neoliberalisme dan neokapitalisme.
Perekonomian nasional yang berpijak dan tumbuh dari rakyat setidaknya
mencerminkan identitas dan nasionalisme kita. Ketergantungan ekonomi
pada asing akan menyebabkan kita dengan mudah didikte oleh kekuatan
ekonomi dan politik asing dan hal itu akan mencederai kedaulatan kita
sebagai bangsa.
Sumber :
- http://www.suryadinlaoddang.com/2011/10/pemuda-membumikan-kearifan- lokal.html
- http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366