:: KEARIFAN LOKAL PENGUAT IDENTITAS BANGSA (TULISAN)

Posted on 11.31 | By yusup.1a113034 | In

Kearifan lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk pada bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat ini. Local genius ini dikenalkan oleh Quaritch Wales, menyusul para antropolog lain yang mengurainya lebih panjang lagi, Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Lebih tegas lagi, Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya dan bertahan sampai sekarang.

Di Indonesia sendiri, kesadaran akan kaya dan berartinya kearifan lokal cenderung terlambat. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down. (Ridwan, 2007). Beruntunglah, semangat otonomi daerah berhasil membuka kembali kran aliran nilai kearifan lokal tersebut. Masyarakat Indonesia mulai membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Lebih dari itu, kearifan lokal juga dapat dijadikan rujukan penyelesaian masalah bangsa. Jero Wacik, mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Lalu masihkan relevan mengusung tema kearifan lokal di era globalisasi seperti saat ini? Globalisasi yang dimaksud adalah globalisasi yang erat gelontoran arus informasi. Arus informasi ini hadir untuk meluaskan paham internasionalisme, dan menghapuskan batas-batas nation-state. Penghapusan batas-batas tersebut melintasi bahkan menghapuskan batas-batas kebudayaan, perilaku, dan nilai-nilai kearifan lokal. Maka wajar jika produk-produk kearifan lokal Indonesia bisa dibajak orang lain. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.

1.    Kearifan Lokal sebagai Identitas dan Ideologi Bangsa

Boni Hargens (2011) dalam tulisannya di Kompas menyatakan bahwa arus modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi semestinya tidak meniadakan suatu negara jatuh dalam  percaturan global asal saja negara tersebut ditopang oleh identitas nasional yang kuat, tetapi juga didukung oleh ideologi dan kepemimpinan politik yang kuat.

Selain etika moral yang bersumber pada agama, di Indonesia juga terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial. Kita mengenal pepatah ”gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian” yang mengimplikasikan ajakan untuk membangun etos kerja dan semangat untuk meraih keunggulan. Dalam hal keharmonisan sosial dan alam, hampir semua budaya di Indonesia mengenal  prinsip gotong royong dan toleransi. Dalam suku tertentu yang bermukim di pedalaman juga dikenal kearifan lokal yang bersifat menjaga dan melestarikan alam sehingga alam (misalnya kayu di hutan) hanya dimanfaatkan seperlunya, tidak dikuras habis.

Dengan sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang banyak, semestinya Indonesia telah menjadi negara besar yang maju. Namun, di tingkat Asia Tenggara saja posisi kita di bawah Singapura yang miskin sumber daya alam dengan luas wilayah lebih kurang hanya seluas Jakarta. Sumber daya alam yang melimpah di negeri ini kadang-kadang juga tidak menjadi berkah. Gas alam diekspor ke luar negeri dengan harga jual yang lebih rendah daripada harga jual untuk pasar dalam negeri. Hutan dieksploitasi secara luar biasa untuk mengejar perolehan devisa yang pada akhirnya hanya mendatangkan kerusakan ekosistem alam yang disusul dengan bencana (banjir;longsor).


Kebijakan ekonomi pemerintah acap kali hanya berpihak pada kepentingan pemodal kuat. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945—yang oleh para pendiri republik ini diciptakan untuk mengakomodasi kearifan lokal yang ada di negeri ini (seperti gotong royong dan kekeluargaan)—dengan tegas mengamanatkan bahwa perekonomian nasional disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan sumber daya alam yang ada dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Secara faktual, dapat kita saksikan pertumbuhan mini market yang sangat subur yang mematikan warung rumah tangga.


Sementara itu, dalam masyarakat sendiri sering terjadi tindak kekerasan yang mereduksi nilai toleransi. Dalam konteks perubahan nilai sosiokultural juga terjadi pergeseran orientasi nilai. Masyarakat cenderung makin pragmatis dan makin berorientasi pada budaya uang serta terperangkap dalam gaya hidup konsumtif yang disodorkan kekuatan global kapitalisme.

Dalam realitas Indonesia kini, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kearifan lokal yang kita miliki mirip benda pusaka, yang kita warisi dari leluhur, kita simpan dan kita pelihara, tetapi kita tidak mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehingga pusaka tersebut sia-sia merespons tantangan zaman yang telah berubah.

Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan realitas Indonesia kini, Kompas edisi 20 April 2011 menampilkan dua tulisan yang relevan, yakni “Saya Mohon Ampun” oleh Radhar Panca Dahana dan “Pembangunan Gerus Kearifan Lokal” oleh Wasisto Raharjo Jati. Dalam tulisannya, Radhar Panca Dahana mencemaskan perilaku para elit negeri ini yang antara sadar dan tidak sadar telah menjadi agen kepentingan dan keserakahan ekonomi dan politik negara maju (sehingga Indonesia hanya dijadikan sekadar pasar sambil dikuras habis sumber daya alamnya). Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati mengemukakan bahwa pembangunan di Indonesia yang terpaku pada pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian hari. Karena berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, secara tidak langsung pemerintah juga telah menjejalkan “budaya uang” sehingga cenderung mengurangi dan meniadakan kearifan dan budaya lokal.

Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia,  kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya). Sekadar contoh, kearifan lokal yang bertumpu pada keselarasan alam telah menghasilkan pendopo dalam arsitektur Jawa. Pendopo dengan konsep ruang terbuka menjamin ventilasi dan sirkulasi udara yang lancar tanpa perlu penyejuk udara.

Pendopo adalah salah satu contoh bagaimana kearifan lokal warisan masa lampau telah memberikan kepada kita konsep arsitektur yang lega, nyaman, dan hemat energi. Sekarang ini, kita mempersoalkan krisis energi dan menyerukan hemat energi. Namun, gedung dan rumah dibangun dengan konsep bangunan tertutup sehingga memerlukan penyejuk udara yang boros energi.

Kearifan lokal dalam wujud gotong royong juga kita kenal di warung rakyat (misalnya warteg). Di warung tersebut dipraktikkan penggiliran pengelolaan warung sebagai implementasi nilai gotong royong dalam tata sosial dan ekonomi: memberi peluang kerja dan peluang mencari nafkah bagi kerabat dan warga sekampung; itu adalah salah satu kearifan lokal warisan masa lampau yang masih diberlakukan oleh sebagian masyarakat.

Di negeri ini, ada sesuatu yang aneh dan janggal: kearifan lokal di tingkat akar rumput acap kali berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang pro pertumbuhan ekonomi (sehingga mengundang investor asing dan memberikan banyak kemudahan, termasuk dalam hal regulasi, sambil mengabaikan kearifan lokal yang tumbuh di akar rumput  (Radhar Panca Dahana dan Wasisto Raharjo Jati,  2011).

Pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya telah mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di Nusantara (antara lain nilai gotong royong sehingga salah satu sila Pancasila adalah “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”). UUD 1945 (yang dijiwai oleh Pancasila) juga mengamanatkan hal yang sama, terutama  dalam Pasal 33. Akan tetapi, saat ini Pancasila dapat dikatakan menjadi sekadar aksesori politik belaka.

Memaknai kearifan lokal tampaknya tidak dapat dipisahkan dari konstelasi global. Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah dan posisinya yang strategis menjadikan Indonesia senantiasa menjadi incaran negara maju sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Hingga kini pun setelah pemerintahan berganti beberapa kali, pemerintah tidak dapat menunjukkan independensinya: banyak kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada kepentingan kekuasaan ekonomi dan politik global daripada berpihak pada kepentingan rakyat dalam negeri. Tentang hal itu dapat dibaca tulisan Radhar Panca Dahana (2011) yang secara satiris mengatakan bagaimana kekuasaan pemerintahan telah menjadi kepanjangan tangan kepentingan ekonomi global.

Kearifan lokal (yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai identitas bangsa) tidak akan bermakna apa pun tanpa dukungan ideologi yang berpihak kepadanya. Dalam konstelasi global, ketika perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet (dan negara yang masih menganut Marxisme pun telah menerapkan sistem ekonomi kapitalistik seperti Cina dan Vietnam), tanpa ideologi yang berpihak pada kepentingan nasional, kita akan semakin kehilangan identitas dalam percaturan global dan hanyut dalam arus globalisasi yang “didikte” oleh negara maju.

2.    Kearifan Lokal: antara Pusaka dan Senjata

Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23  April 2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar tidak makan yang penting berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang pun makin kehilangan maknanya: banyak perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada hidup menanggung kemiskinan dan kelaparan.

Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata—tidak sekadar pusaka—yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus zaman.

Revitalisasi kearifan lokal dalam merespons berbagai persoalan akut bangsa dan negara ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial hanya akan berjalan dengan dukungan kebijakan negara dan keteladanan. Tanpa itu, kearifan lokal hanya merupakan aksesori budaya yang tidak bermakna. Kearifan lokal di banyak daerah pada umumnya mengajarkan budaya malu (jika berbuat salah). Akan tetapi, dalam realitas sekarang, budaya malu itu telah luntur. Peraturan yang ada pun kadang-kadang memberi peluang kepada seorang terpidana atau bekas terpidana untuk menduduki jabatan publik. Jadi, budaya malu sebagai bagian dari kearifan lokal semestinya dapat direvitalisasi untuk memerangi korupsi, apalagi dalam agama pun dikenal konsep halal—haram (uang yang diperoleh dari korupsi adalah haram).

Di antara berbagai penggerusan kearifan lokal saat ini, di sisi lain kita masih menyaksikan pemanfaatan kearifan lokal, misalnya di dunia medis terjadi pengembangan obat herbal yang merupakan warisan leluhur di bidang medis yang kemudian disempurnakan dengan standar farmakologi yang berlaku. Jadi, itu adalah salah satu wujud kearifan lokal yang telah memperoleh revitalisasi dalam masyarakat.

Di tengah derasnya arus investasi asing di bidang kuliner yang merambah ke negeri ini (seperti Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, dan Pizza Hut), kita masih dapat menyaksikan menu kuliner lokal (masakan Sunda, Padang, dan Yogya) tetap  eksis dan sebagian hadir dalam tata kelola restoran modern. Itu adalah revitalisasi kearifan lokal di bidang kuliner.

Sementara itu, gotong royong sebagai wujud kearifan lokal kita tampaknya belum terimplementasikan dalam perekonomian nasional yang makin didominasi oleh asing dan perusahaan multinasional dengan semangat neoliberalisme dan neokapitalisme. Perekonomian nasional yang berpijak dan tumbuh dari rakyat setidaknya mencerminkan identitas dan nasionalisme kita. Ketergantungan ekonomi pada asing akan menyebabkan kita dengan mudah didikte oleh kekuatan ekonomi dan politik asing dan hal itu akan mencederai kedaulatan kita sebagai bangsa.

Sumber :
  • http://www.suryadinlaoddang.com/2011/10/pemuda-membumikan-kearifan- lokal.html 
  • http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366

Selengkapnya......

:: NILAI KEJUANGAN DAN KEPEMIMPINAN LINTAS BUDAYA (TULISAN)

Posted on 11.10 | By yusup.1a113034 | In

Kepemimpinan merupakan factor terpenting dalam suatu organisasi, Tindakan pemimpin akan mempengaruhi gerak suatu organisasi. Pemimpin yang dapat memerankan fungsi secara maksimal dan dapat mencapai tujuan tertentu yang disepakati dapat dikatakan sebagai kepemimpinan yang efektif. Dalam kehidupan organisasi yang didalamnya melibatkan berbagai pola interaksi antar manusia, baik secara individual maupun kelompok, masalah konflik merupakan fakta yang tidak dapat dihindarkan. Dan konflik itu sendiri merupakan proses dinamis yang dapat dilihat, diuraikan dan dianalisa. Oleh karna itu, konflik sebagai suatu proses sangat menarik dalam dunia manajemen.

Dalam organisasi manapun, rasa kebersamaan di antara para anggotanya adalah mutlak, sebab rasa kebersamaan pada hakikinya merupakan pencerminan dari pada kesepakatan antara para bawahan, maupun antara pemimpin dengan bawahan, dalam mencapai tujuan organisasi. Tapi dalam hal tertentu mungkin akan timbul ketidaksesuaian antara para bawahan (Timbul persoalan). Apabila diantara mereka tidak dapat menyelesaikan persoalan, pemimpin perlu turun tangan untuk segera menyelesaiakan. Dan dalam hal memecahkan persoalan hubungan diantara bawahan, pimpinan harus bersikap adil tidak memihak. 
 
Dalam kehidupan/kepemimpinan, prinsip-prinsip tersebut analoginya dengan kompas bagi seseorang yang sedang menempuh perjalanan. Walaupun demikian, orang yang berjalan tidak hanya memerlukan kompas, tetapi juga memerlukan sebuah peta untuk sampai pada yang dituju dengan tepat. Dan yang dimaksud dengan peta dalam kehidupan atau kepemimpinan adalah norma-norma sosial, baik berasal dari agama maupun kebudayaan masyarakat bersangkutan. Nilai-nilai sosial yang dianut seseorang atau pemimpin, pada dasarnya bersifat pribadi, emosional dan subyektif, karenanya bisa diperdebatkan.

Sebagian orang menganut teori deterministik, yang menganggap bahwa yang menentukan adalah faktor-faktor genetik, psikis dan lingkungan. Sedangkan sebagian lainnya menganggap bahwa ketiga faktor tersebut hanyalah sebagai reference, yang menentukan adalah pribadinya. Kedua kelompok tersebut terefleksikan pada nilai-nilai juang dan kepemimpinan pada berbagai lintas budaya. Penduduk dunia semakin maju sejalan dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesemuanya membawa peningkatan di bidang ekonomi dan kesejahteraan dari penduduk dunia.

Teknologi informasi dan komunikasi telah membuat dunia semakin menyatu dan terasa semakin pendek jarak antar negara. Penduduk dari satu negara dengan negara lainnya semakin membaur dan semakin multi etnis serta semakin multi budayanya penduduk dari suatu negara. Karenanya, kajian nilai juang dan kepemimpinan dan sesuai pula dengan peningkatan kosmopolitansi di era globalisasi ini.

Perangkat nilai-nilai yang dijadikan norma sosial dari setiap budaya masyarakat berbeda satu dengan lainnya, tetapi dapat dipelajari dan ditemukan prinsip-prinsip yang berlaku pada setiap budaya tersebut misalnya, produksi itu tergantung dari kemampuan produksi (Production depends on production capability). Apabila ingin panen maka harus mau menanam, dan apabila ingin meningkatkan produksi, maka kemampuan produksinya yang harus ditingkatkan.

Kajian nilai juang dan kepemimpinan diharapkan akan menumbuhkan kepemimpinan yang bernilai juang, yang berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kebaikan, menggunakan bakat orang-orang secara lebih baik untuk meningkatkan efisiensi, serta kepemimpinan yang membuat lompatan-lompatan besar dalam efektifitas pribadi dan organisasi (institusinya). Adapun Indikator Hasil Belajar dari pembelajaran ini adalah : peserta mampu menerapkan perilaku kepemimpinan yang sesuai dengan perkembangan lingkungan dan mempunyai nilai-nilai kejuangan Kajian tentang nilai-nilai kepemimpinan dan kejuangan dalam Lintas Budaya, mencakup dua sub Pokok Bahasan, yaitu : Nilai-Nilai Kejuangan dan Kepemimpinan Lintas Budaya.

Nilai-nilai kepemimpinan bervariasi antar bangsa dan bahkan antar suku Bangsa. Kenyataan demikian ini adalah wajar, karena kepemimpinan dari suatu bangsa atau suku bangsa, pada dasarnya mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku pada masyarakat bangsa atau bangsa bersangkutan.
 
Dewasa ini, sedang berkembang modernisasi pada berbagai kehidupan di berbagai bangsa, suku bangsa dan lintas budaya pada umumnya. Perkembangan demikian di era globalisasi ini, menuntut kepemimpinan yang lebih efektif dan lebih efisien, lebih demokratis, lebih terbuka, lebih rasional, lebih luwes dan lebih terdesentralisasi.

Era globalisasi merupakan kondisi kehidupan manusia yang tak dapat ditawar-tawar, tetapi perlu dijalani dengan antisipasi yang tepat. Ciri globalisasi tersebut adalah kecepatan informasi yang sangat tinggi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi yang sangat pesat, yang menimbulkan persaingan yang sangat cepat. Persaingan yang sangat ketat dan cepatnya arus informasi ini, mendorong negara-negara dan para pemimpinnya mencari cara-cara yang efektif dan efisien untuk mengatasi tantangan tersebut agar tetap survive dalam persaingan global.

Untuk mengatasi tantangan global tersebut, diperlukan pemimpin-pemimpin yang profesional yang meninggalkan cara-cara kerja feodalisme, ketat peraturan, menyenangi ketertutupan, mempersulit pelayanan, penuh curiga, main hakim sendiri dan lain-lain. Kepemimpinan yang diperlukan adalah yang terbuka, memperhatikan hak-hak azasi manusia, menghormati hukum, tidak cepat puas dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi.


Sumber :
  • http://pusdiklat.bps.go.id/index.php?r=artikel/view&id=236 
  • http://regional.kompasiana.com/2013/03/29/peranan-kepemimpinan-dalam-konflik-organisasi-546341.html

Selengkapnya......

:: MEMAKNAI ARTI KEMENANGAN DAN KEKALAHAN (TUGAS 2)

Posted on 10.54 | By yusup.1a113034 | In

Ada dua tipe orang dalam menghadapi suatu kekalahan, yaiut dia yang setelah kalah segera melakukan evaluasi dan introspeksi untuk mengetahui mengapa dia kalah. Setelah itu, dia mengambil pelajaran dari apa yang dilakukannya. Juga melakukan berbagai perbaikan. Kemudian, siap untuk berjuang lagi bagi sebuah kemenangan di hari esok.

Sedangkan tipe orang kalah yang kedua adalah dia yang tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa dia kalah. Bukan melakukan introspeksi, tetapi sibuk dan justru menuding ke kiri dan ke kanan. Menyalahkan yang lain. Bukan dia yang kurang, tetapi yang lain.

Kekalahan terkadang membuat seseorang kehilangan keberaniannya untuk dapat kembali berkompetisi. Dia tidak yakin akan kemampuannya setelah itu. Dia takut akan kalah untuk kedua kalinya. Terlebih malu kepada orang-orang disekitarnya. “Mereka pasti akan menganggap saya bodoh dan tidak berbakat”. Hal yang seperti inilah yang justru membuat kekalahan akan semakin mendekati anda. Ketika anda kehilangan rasa percaya diri anda, maka akan mudah bagi kekalahan untuk menghampiri anda. Bagaimana anda bisa meraih kemenangan anda , jika anda sendiri pun tidak yakin dengan kemampuan yang anda miliki.

Menang bukanlah harus selalu menjadi yang pertama, melainkan ketika anda telah berhasil melakukan sesuatu hal yang lebih baik dari sebelumnya. Ketika seseorang mampu bangkit dari kegagalannya dan mampu mengalahkan segala ketakutan pada dirinya, itulah kemenangan yang sebenarnya. Dan kemenangan yang mutlak, adalah ketika anda meraih kemenangan itu dengan seadil-adilnya dan tanpa ada kecurangan apapun di dalamnya.

Kesalahan besar jika anda membicarakan kekalahan orang lain dan menyanjung kemenangan diri sendiri. Kekalahan seseorang bukan karena dia bodoh atau tidak memiliki bakat. Jadi anda, janganlah menjauhinya, apalagi membicarakan suatu hal yang buruk dibelakangnya. Karena anda sendiri tidak akan pernah tahu, jika seseorang yang anda bicarakan saat ini, mungkin suatu saat akan lebih sukses dari anda, dan dialah yang akan mengambil kemengangan anda.

Kalah juga indah

Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Kemenangan ibarat padi bagi petani, seperti ikan buat nelayan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar. Ia pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Namun seberapa besar pun energi maupun semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.

Oleh karena itulah, orang bijaksana belajar melatih diri untuk tersenyum baik di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun bila hadiahnya kekalahan, hanya senyuman yang memulyakan perjalanan.

Membawa tropi sebagai simbol kemenangan itu indah. Dihormati karena menang juga indah. Tapi tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang pandangannya mendalam yang bisa melakukannya. Ibarat gunung, pemenang-pemenang itu serupa dengan batu-batu di puncak gunung. Mereka tidak bisa duduk di puncak gunung bila tidak ada batu-batu di dasar dan lereng gunung (baca: pihak yang kalah).

Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memulyakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Terutama karena di depan kekalahan manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi seperti amplas yang menghaluskan kayu yang mau jadi patung berharga mahal. Serupa pisau tajam yang sedang melukai bambu yang akan jadi seruling yang mewakili keindahan.

Kesabaran, kerendahatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Serangkaian hadiah yang tidak mungkin diberikan oleh kemenangan. Ia yang sudah membuka pintu ini, akan berbisik: kalah juga indah!. Itu sebabnya seorang guru pernah berpesan: “0ld friends pass away, new friends appear. The most important thing is to make it meaningful“. Semua datang dan pergi (kemenangan, kekalahan, keberuntungan, kesialan), yang paling penting adalah bagaimana mengukir makna dari sana.

Jarang terjadi ada manusia yang mengukir makna mendalam ditengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah sekali membuat manusia tergelincir ke dalam kemabukan dan lupa diri. Pengukir-pengukir makna yang mengagumkan seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh semuanya melakukannya di tengah-tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima hadiah nobel perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh senat AS, setelah melewati kesedihan dan kekalahan selama puluhan tahun di pengasingan.

Memaknai kekalahan

Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realita sebagaimana apa adanya dengan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, menuntut selalu lebih, akan melihat kehidupan yang tidak menyenangkan di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.

Belajar dari sini, titik berangkat dalam memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan kita dalam mengerti. Dalam bahasa seorang kawan: the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian, hanya akan memperpanjang daftar panjang penderitaan yang sudah panjang.

Seorang guru mangambil sebuah gelas yang berisi air, kemudian meminta muridnya memasukkan sesendok garam ke dalamnya dan diaduk. Setelah dicicipi ternyata asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid yang sama ke kolam luas lagi-lagi dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air di kolam. Kali ini rasa air tidak lagi asin.

Inilah yang terjadi dengan batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi) maka kehidupan menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Tatkala batinnya luas tidak terbatas, tidak ada satu pun hal yang bisa membuat kehidupan jadi mudah asin rasanya.

Dengan modal seperti ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia sudah berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa itu adalah tugas-tugas kehidupan. Namun seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam (baca: tanpa rasa asin).

Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal dan bahkan hidup-mati, hanyalah wajah-wajah putaran waktu. Persis ketika jam menunjukkan sekitar jam enam pagi, waktunya matahari terbit. Bila jam enam sore putaran waktu matahari tenggelam. Memaksa agar jam enam pagi matahari tenggelam, tidak saja akan menjadi korban canda tetapi juga korban karena kecewa.

Maafkanlah bila terdengar aneh. Pejalan kaki ke dalam diri yang sudah teramat jauh bila ditanya mau kaya atau miskin, ia akan memilih miskin. Bila diminta memilih antara menang dan kalah, ia akan memilih kalah. Kaya tentu saja berkah, namun sedikit ruang-ruang latihan di sana. Miskin memang ditakuti banyak orang, namun kemiskinan menghadirkan daya paksa yang tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakannya besar sekali. Kalah memang tidak diinginkan nyaris semua orang, tetapi kekalahan adalah ibunya kesabaran.

Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally l realize there is no difference between mind and sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu pun awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) yang bisa merubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan.


Sumber :
  • http://gemintang.com/kisah-sukses-motivasi-inspirasi/apalah-arti-kemenangan-dan-kekalahan/
  • http://gedeprama.blogdetik.com/2009/10/24/kekalahan-kemenangan-keindahan/
  • http://www.presidenri.go.id/index.php/buku/2014/04/03/29.html

Selengkapnya......

:: KONTRIBUSI BUDAYA DALAM BIDANG TI (TUGAS 1)

Posted on 10.46 | By yusup.1a113034 | In

Sejak dulu teknologi sudah ada atau manusia sudah menggunakan teknologi. Seseorang menggunakan teknologi karena manusia memiliki akal dan pikiran. Dengan akalnya ia ingin keluar dari masalah, ingin hidup lebih baik, lebih aman dan sebagainya. Perkembangan teknologi terjadi karena seseorang menggunakan akalnya dan pikirannya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya.

Pada hakekatnya manusia secara kodrati bersifat sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dikatakan sebagai makhluk individu karena setiap manusia berbeda-beda dengan manusia yang lain dalam hal kepribadian, pola pikir, kelebihan, kekurangan dan kreatifitas untuk mencapai cita-cita. Sehingga sebagai pribadi-pribadi yang khas tersebut manusia berusaha mengeluarkan segala potensi yang ada pada dirinya dengan cara menciptakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa bantuan orang lain. Potensi-potensi manusia sebagai makhluk individu dapat dituangkan dalam sebuah karya seni, sains, dan teknologi.

Baik sains, teknologi maupun seni dan hasil produknya dapat dirasakan disetiap aspek kehidupan manusia dan budayanya. Sehingga pengaruh sains, teknologi, seni bagi manusia dan budaya dalam masyarakat dapat berpengaruh baik secara negatif maupun secara positif.

Budaya adalah hasil karsa, dan karya manusia yang dapat dinikmati dan dihargai. Dia tumbuh dalam kearifan lokal masyarakat kita. Sedangkan karakter adalah perangai atau tingkah laku yang menjadi watak manusia dalam berinteraksi kepada sesama. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter harus diberikan kepada para generasi muda yang telah melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Generasi muda yang bukan hanya cerdas OTAK, tetapi juga WATAK. Generasi ini biasa disebut C-Generation. Sebuah generasi yang benar-benar telah melek TIK, dan mampu memanfaatkannya.

Tapi dari semua dampak negatif yang terjadi pada kebudayaan, dampak positif yang ditimbulkan juga cukup besar seperti:

  • Kemajuan teknologi yang bersifat netral (neutral technological progress)kemajuan yang terjadi karena tingkat pengeluaran (output) lebih tinggi dicapai dengan kuantitas dan kombinasi faktor-faktor pemasukan yang sama.
  • Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor-saving technological progress). Kemajuan teknologi yang terjadi sejak akhir abad kesembilan belas banyak ditandai oleh meningkatnya secara cepat teknologi yang hemat tenaga kerja dalam memproduksi sesuatu mulai dari kacang-kacangan sampai sepeda hingga jembatan.
  • Kemajuan teknologi yang hemat modal (capital-saving technological progress). Fenomena yang relatif langka. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua riset teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia dilakukan di negara-negara maju, yang lebih ditujukan untuk menghemat tenaga kerja, bukan modalnya.

C-Generation terlahir dari dunia digital yang terus berkembang. Oleh karena itu para penduduknya disebut digital native. Dalam penduduk digital native, aktivitas belajar C-Generation tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional. Mereka sudah terbiasa dengan cara-cara modern yang mengikuti perkembangan teknologi web 3.0 yang sebentar lagi akan kita gunakan di negeri ini. Belajar tidak lagi di dalam kelas, dan bertatap muka secara langsung, tetapi bisa dimana saja, dan kapan saja. Di sinilah diperlukan pendidikan budaya dan karakter. Dengan begitu etika atau budi pekerti tetap terjaga.

Pendidikan budaya dan karakter diberikan dengan cara-cara alamiah. Dia tumbuh dari generasi yang telah melek TIK. Diperlukan peran TIK yang begitu besar dalam proses pembelajarannya sehingga budaya, dan karakter itu berubah menjadi cara-cara ilmiah yang membuat para pendidik atau guru tak bisa lepas dari 5K. Konvergensi, Kontekstual, Kolaborasi, Konektivitas, dan Konten kreatif jelas akan menguasai dunia di abad 21 ini.

Arus deras 5K akan dihadapi oleh kita yang mendapat julukan “digital imigran” (pendatang baru dalam dunia digital). Kita harus belajar teknologi menuju masyarakat berpengetahuan. Dibutuhkan pendidikan budaya dan karakter unggul untuk menghadapinya. Kita pun harus belajar sepanjang hayat.

TIK begitu cepat sekali perkembangannya, dan telah membuat sendi-sendi kehidupan masyarakat terpengaruh karenanya. Semua hal yang bersangkut paut dengan hajat hidup orang banyak akan menggunakan TIK untuk memudahkannya. TIK menjadi sebuah alat bantu manusia yang terus menerus melayani manusia dari mulai bangun tidur hingga mau tertidur lagi.

Dari sini sebuah generasi baru jelas akan muncul. Generasi baru yang benar-benar melek TIK, dan dekat dengan 5K.  Mereka sudah terbiasa saling terkoneksi untuk berbagi. Berbagi pengetahuan, dan sharing pengalaman. Terjadi konvergensi antar mereka. Merekapun saling berkolaborasi dalam menemukan konten-konten kreatif yang pada akhirnya membuat mereka bersinggungan dengan dunia nyata atau kontekstual. Di situlah era web 3.0 berperan. Komunikasi dengan mudah dilakukan dalam jarak yang jauh, dan duniapun serasa berada dalam gengaman tangan. Tembok pemisah antar negara seolah tiada lagi.

Pendidikan budaya, dan karakter tentu tak luput dari perhatian kita. Sebab budaya dan karakter harus diberikan kepada para C-Generation agar meraka tak salah arah. Peran TIK jelas sangatlah penting, dan para pendidik harus mampu menjadi guide atau pemandu dalam bidang TIK agar budaya dan karakter bangsa dapat terjaga.
 

Sumber :
  • http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/27/pendidikan-budaya-dan-karakter-melalui-tik-337867.html 
  • http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2012/09/20/dampak-perkembangan-teknologi-informasi-488600.html

Selengkapnya......

:: SISTEM INFORMASI AKUNTANSI ( 14 )

Posted on 19.04 | By yusup.1a113034 | In

IMPLEMENTASI OPERASI DAN PENGENDALIAN SISTEM



14.1 Implementasi Sistem
Dalam proses Implementasi di perlukan adanya keterkaitan terhadap sistem informasi,dan dalam siklusnya dapat dijelaskan diantaranya :
  1. Identifikasi Pemahaman awal perlunya pembuatan sistem informasi dan permintaan formal untuk mengembangkan sistem informasi.
  2. Inisiasi dan Perencanaan Untuk menentukan spesifikasi kebutuhan dan untuk mengetahui bagaimana sistem informasi dapat membantu penyelesaian permasalahan. Pada tahap ini dibuat keputusan perlunya dibuat suatu aplikasi atau mengembangkan aplikasi yang sudah ada. Melakukan analisis untuk membuat spesifikasinya
  3. Analisisgstrukturkan kebutuhan pengguna serta menseleksi aplikasi lain yang sudah ada. Pada tahapan ini akan diperoleh spesifikasi fungsional sistem.
  4. Perencanaan Logika Mendapatkan dan menstrukturkan kebutuhan sistem informasi secara keseluruhan. Pada tahap ini akan diperoleh spesifikasi rinci data, laporan, tampilan, dan aturan pemrosesan.
  5. Perancangan Fisik Mengembangkan spesifikasi teknologi yang akan digunakan, pada tahap ini akan diperoleh struktur program dan basisdata, serta perancangan struktur fisik.
  6. Implementasi Pembuatan program dan basisdata, melakukan instal dan menguji sistem. Pada tahapan ini akan diperoleh program aplikasi dan dokumentasi.
  7. Pemeliharaan Melakukan pemantauan kegunaan dan fungsi sistem, serta melakukan audit sistem secara periodik.


14.2 Pengendalian Keuangan di Dalam Sistem Informasi
Perencanaan dan pengendalian keuangan meibatkan proyeksi-proyeksi berdasarkan standar dan perkembangan dari umpan balik dan proses penyesuaian untuk memperbaiki prestasi kerja.
Perencanaan keuangan mencakup penjualan, laba, dan aktiva yang didasarkan pada alternatif strategi produksi dan pemasaran untuk kemudian bagaimana menentukan kebutuhan pendanaannya.
Perencanaan Keuangan adalah proses dari :
  1. Menganalisis pendanaan dan pilihan investasi yang terbuka bagi perusahaan.
  2. Memproyeksikan konsekuensi masa yang akan datang akibat keputusan saat ini, guna menghidari hal-hal yang tidak terduga dan hubungan antara keputusan saat ini dan masa yang akan datang.
  3. Menentukan alternatif mana yang akan dipilih
  4. Mengukur hasil selanjutnya terhadap tujuan dalam rencana keuangan.


14.3 Pengendalian Atas Sumber Daya Non Keuangan Dalam Sistem Informasi.
Contoh Pengendalian Aktiva :
Sumber daya perusahaan (aktiva) perlu dijaga. Cara menjaga nya :
- Penggunaan buku pembantu dalam catatan akuntansi
- Rekonsiliasi (seperti rekonsiliasi kas dan persediaan)
- Prosedur acknowledgement sebagai bentuk wujud pertanggungjawaban atas aktiva yang ditangani oleh seseorang atau suatu bagian.
- Penggunaan log dan register
- Review oleh pihak independent

Selengkapnya......